JAKARTA || Setara Institute melakukan penelitian terkait upaya perbaikan Polri ke depan. Riset ini bertajuk “Desain Transformasi Polri untuk Mendukung Indonesia Emas 2045”.
Peneliti senior Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan, riset ini hasil identifikasi berbagai masalah yang dikeluhkan masyarakat. Hasil identifikasi persoalan ini, memunculkan solusi.
“Tidak ada lembaga negara mana pun yang sempurna. Atas itu, kami menawarkan 50 aksi transformasi Polri untuk mendukung Visi Indonesia Emas 2045,” ujar Ismail di sela acara diseminasi hasil riset Setara Institute, di Jakarta Selatan, Kamis (12 Desember 2024).
Aksi transformasi ini mulai dari revisi peraturan Kapolri, revisi standar operasional prosedur (SOP), penguatan peran pengawasan Kompolnas dan lainnya. “Kompolnas tidak hanya melakukan pengawasan pasif, tapi juga melakukan pengawasan aktif,” kata dia.
Revisi UU Polri juga diperlukan guna untuk memperkuat kelembagaan Polri, serta akuntabilitas. Partisipasi masyarakat luas juga harus dibuka oleh Polri.
“Jadi kritik harus ditangkap sebagai partisipasi masyarakat, jangan malah sebaliknya. Kami juga menilai meritokrasi harus dijalankan, karena jika tidak berpotensi ganggu soliditas Polri,” tuturnya.
Selain itu, pelatihan terkait hak asasi manusia (HAM) dan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Polri harus ditingkatkan. “Ini merupakan rekomendasi yang konstruktif,” ucapnya.
Wacana Polri di Bawah TNI atau Kemendagri
Muncul wacana agar Polri ditempatkan di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ini dinyatakan PDI Perjuangan (PDIP), karena menilai adanya intervensi Polri dalam sejumlah penyelenggaraan Pilkada 2024, sehingga calon yang didukung partai berlambang kepala banteng itu kalah.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nurani Siregar, mengingatkan agar berhati-hati merespons wacana dari institusi politik. Sehingga mampu menangkap makna dari gagasan tersebut secara utuh.
“Mungkin kalau dalam logika riset ini juga harus kita refleksikan lagi apakah ketika di bawah kementerian, itu tidak ada lagi terjadi (intervensi politik)?,” ujarnya.
Menurut Sarah, penempatan posisi Polri juga harus mencakup tata kelola lembaganya. “Ini cara merespons persoalan secara kontekstual tidak jangka panjang, itu persoalan pemilu,” kata dia.
Adapun berdasarkan studi literatur maupun riset yang pihaknya lakukan, upaya penempatan Polri di bawah TNI maupun Kemendagri, bertentangan dengan reformasi keamanan yang sejak dulu pihaknya kawal.
“Kalau mau membenahi Polri bukan soal di bawah lembaga apa. Tapi lebih kepada pengawasannya diperkuat, model rekrutmennya yang kita benahi, pembenahan kulturnya,” tuturnya.
Ismail menambahkan, kini sudah tidak relevan gagasan yang menginginkan Polri posisinya di bawah selain presiden.
“(Sebab) Secara konstitusi sudah ditegaskan bahwa Polri adalah alat negara, oleh karena itu dia harus mandiri di bawah presiden. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 juga menegaskan hal yang sama,” ujarnya.
Posisi Polri yang langsung di bawah presiden, menurut Ismail justru membuat lembaga itu lebih independen. Sebab, masyarakat pemilih presiden bisa mengawal secara langsung kinerja Kepolisian, melalui presiden.
Menempatkan kembali Polri di bawah TNI, ataupun Kemendagri, dinilainya mengkhianati cita-cita Reformasi ’98.
“Menyayangi Polri itu dengan cara menjaga independensinya. Ijtihad konstitusional ’98, reformasi telah menegaskan bahwa Polri adalah independen, mandiri dan diletakkan di bawah presiden karena dia sebagai alat negara,” tandas Ismail. (Red).